Selasa, 05 Juni 2012

BPK Temukan Dua Masalah dalam LKPP 2011

Ada dua permasalahan yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2011 yang menjadi pengecualian atas kewajaran LKPP. Dua permasalahan tersebut merupakan gabungan dari ketidaksesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), kelemahan sistem pengendalian intern, dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua BPK Hadi Poernomo dalam penyampaian laporan hasil pemeriksaan BPK atas LKPP tahun 2011 kepada DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (29/5). “Dari hasil laporan kami ada dua masalah yang ditemukan dalam LKPP,” ungkapnya.

Masalah pertama, pemerintah telah melakukan inventarisasi dan penilaian kembali (IP) atas aset tetap yang diperoleh sebelum neraca awal per 31 Desember 2004, tetapi masih terdapat permasalahan dalam pelaksanaan dan pencatatan hasil IP. Heru menyebutkan bahwa permasalahan dalam pelaksanaan dan pencatatan hasil IP adalah aset tetap pada sepuluh Kementerian/Lembaga (KL) dengan nilai perolehan Rp4,13 triliun belum dilakukan IP, aset tanah jalan nasional pada Kementerian Pekerjaan Umum senilai Rp109,06 triliun tidak dapat diyakini kewajarannya, aset tetap hasil IP pada tiga K/L senilai  Rp3,88 triliun dicatat ganda serta pencatatan hasil IP pada 40 K/L masih selisih Rp1,54 triliun dengan nilai koreksi hasil IP pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

Selain itu, BPK menemukan aset tetap pada 14 K/L senilai Rp6,89 triliun tidak diketahui keberadaannya ditambah lagi pelaksanaan IP belum mencakup penilaian masa manfaat aset tetap sehingga pemerintah belum dapat melakukan penyusunan aset tetap. “Nilai aset tetap yang dilaporkan bisa berbeda secara signifikan jika pemerintah menyelesaikan dan mencatat seluruh hasil IP,” tegas Heru.

Masalah kedua, pemerintah telah  melakukan IP atas seluruh aset Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tetapi masih terdapat kelemahan dalam pelaksanaan inventarisasi, perhitungan dan penilaian terhadap aset Eks BPPN. Kelemahan tersebut, sambung Heru, dimana pemerintah belum menemukan dokumen cessie atas aset Eks BPPN berupa aset kredit senilai Rp18,25 triliun, aset Eks BPPN yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) senilai Rp11,18 triliun tidak didukung oleh dokumen sumber yang valid serta aset Eks BPPN berupa tagihan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) senilai Rp8,68 triliun belum didukung dengan dokumen kesepakatan dengan pemegang saham.

Ditambah lagi, aset Eks BPPN berupa aset propertisebanyak 917 item belum dinilai dan pemerintah juga belum dapat menyajikan nilai bersih yang dapat direalisasikan atas aset Eks BPPN yang berupa piutang. “Selain itu, BPK menemukan permasalahan signifikan terkait kelemahan pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan,” tuturnya.

Terkait dengan ketidakpatuhan terhadap UU, BPK  menemukan 28 KL yang tidak  mematuhi UU tentangPenerimaan Negara Bukan pajak (PNBP). Nilai kepatuhan tersebut senilai Rp331,94 miliar. Hadi juga menjelaskan, BPK juga menemukan ada penetapan Pajak Bumi dan Bangunan, Minyak dan Gas Bumi atas areal onshore yang tidak sesuai dengan UU Pajak Bumi dan BangunansertaUU Minyak dan Gas (Migas). Akibatnya, realisasi pajak PBB dan Migas sebesar Rp3,96 triliun tidak bisa diyakini kewajarannya.

Untuk itu, BPK merekomendasikan kepada pemerintah agar mengatur sanksi yang tegas atas keterlambatan penyetoran dan penggunaan langsung PNBP. Hadi berharap ada revisi UU PNBP, terutama menyangkut kewenangan penetapan jenis dan penyesuaian tarif PNBP, menetapkan peraturan monitoring penerimaan hibah langsung di tingkat K/L, pelaporan dan sanksi bagi satuan kerja yang tidak melaporkan hibah langsung yang diterimanya sesuai dengan ketentuan berlaku.

Namun, Menteri Keuangan Agus Martowardojo enggan menanggapi hasil temuan BPK ini. Dirinya masih akan menunggu tanggapan dari presiden terlebih dahulu sebelum mengeluarkan statement terkait hasil LKPP dari BPK tersebut. Begitu juga Kemenkeu akan mempelajari dua permasalahan yang diungkapkan oleh BPK serta permasalahan-permasalahan lainnya setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penilaian atas LKPP ini.

“Kita masih menunggu penilaian dari Presiden SBY karena memang laporan ini belum diterima oleh Presiden SBY,” kata Agus. (sumber Hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar